Aspirasi Jabar Morotai || Maluku Utara - Praktik illegal fishing yang sudah berlangsung bertahun-tahun di perairan Morotai semakin merugikan nelayan tradisional. Dominasi kapal-kapal besar dari Bitung, yang menggunakan alat tangkap modern dan berkapasitas jumbo, telah menyebabkan nelayan lokal tersingkir. Mereka kini terpaksa meninggalkan profesinya dan beralih ke pekerjaan lain, seperti bekerja di tambang untuk bertahan hidup.
Fadli Djaguna, Politis Partai Amanat Nasional (PAN) Dan Mantan Anggota DPRD pulau Morotai, menilai bahwa lambannya respons Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam memberantas illegal fishing menjadi salah satu penyebab utama menurunnya jumlah nelayan tradisional di Morotai.
"Jika pemberantasan illegal fishing dilakukan dengan konsisten, maka nelayan tradisional dapat berkembang kembali dan sektor perikanan bisa pulih,"kata Fadli.
Morotai, yang berbatasan langsung dengan Filipina, memiliki perairan yang kaya akan hasil laut. Namun, maraknya illegal fishing di perairan ini telah menciptakan ancaman besar bagi kelangsungan hidup nelayan lokal.
"Ikan yang seharusnya menjadi sumber penghidupan para nelayan, kini dibawa keluar daerah tanpa melalui jalur yang sah. Hal ini membuat pendapatan nelayan pasti merosot drastis,"
Minimnya perhatian dari pemerintah daerah dan DPRD sebagai lembaga pengawasan semakin memperburuk keadaan. Fadli menekankan bahwa DPRD tidak boleh hanya berdiam diri, melainkan harus bergerak aktif untuk menanggulangi illegal fishing yang sudah sangat merugikan masyarakat Morotai, khususnya nelayan.
"DPRD harus melihat masalah ini dengan serius. Jika tidak, mereka hanya akan menjadi seperti orang buta yang dilepas di hutan rimba. Illegal fishing ini mengancam Pendapatan Asli Daerah (PAD) kita. Satu-satunya potensi yang kita miliki adalah perikanan dan kelautan, yang bisa menopang APBD kita ke depan," tegas Fadli.
Masalah semakin kompleks dengan keberadaan ratusan kapal berkapasitas besar yang beroperasi di perairan Morotai. Kapal-kapal ini, yang sebagian besar berasal dari Bitung, terus mengeruk hasil laut Morotai dan membawanya keluar daerah.
"Ikan tuna yang ditangkap oleh kapal-kapal Bitung dibawa langsung ke Bitung, dan itu berarti kota Bitung dan pemerintah provinsi Sulawesi Utara yang mendapatkan manfaat dari kekayaan laut kita," tambah Fadli.
Keadaan ini juga sangat merugikan pemerintah daerah, karena potensi pendapatan dari sektor perikanan yang seharusnya bisa maksimal, malah tergerus oleh praktik illegal fishing yang tak terkontrol.
Fadli juga menyoroti kinerja Polairud Morotai yang menurutnya tidak cukup konsisten dalam melaksanakan patroli laut.
"Nelayan sudah banyak yang melaporkan kejadian illegal fishing, namun Polairud tampaknya tidak peka dan tidak cukup responsif terhadap laporan-laporan tersebut," katanya.
Untuk itu, Fadli berharap ada tindakan tegas dari pemerintah daerah dan DPRD, termasuk penggantian kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Morotai yang dinilai tidak lagi efektif dalam menangani masalah ini.
"Pemerintah dan DPRD harus bergerak cepat. Jika masalah ini dibiarkan, maka masa depan kelautan Morotai akan terancam. Jangan sampai kita kehilangan sumber daya alam yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi daerah,"
"Jika tidak ada langkah konkret untuk memberantas illegal fishing, bukan tidak mungkin Morotai akan kehilangan kekayaan kelautan yang selama ini menjadi sumber kehidupan bagi ribuan nelayan tradisionalnya. Dan, yang lebih parah, pendapatan asli daerah yang bergantung pada sektor ini akan terus menurun, mengancam kesejahteraan masyarakat Morotai," tutup Fadli.(oje)