-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

West Java Festival, Gimmick Dan Gubernur Gagap Budaya

4 Nov 2019 | November 04, 2019 WIB | 0 Views Last Updated 2019-11-03T22:50:36Z

West Java Festival 2019 (aspirasijabar.net/ant)


Oleh : Agus Sanusi

Sebagai puncak rangkaian Hari Ulang Tahun ke 74 Provinsi Jawa Barat yang jatuh pada 19 Agustus lalu. Pemerintah Provinsi Jawa Barat menggelar West Java Festival pada 1- 3 November 2019 yang berpusat di Gedung Sate Bandung. Bersamaan dengan itu Pemerintah Provinsi Jawa Barat bermaksud untuk mempromosikan potensi pariwisata, seni, budaya, serta ekonomi kreatif Jawa Barat.

Konsepnya sendiri sebenarnya sangat menarik. Sesuai dengan gaya Ridwan Kamil yang memang pandai membuat gimmick. Dengan mengangkat tema kebudayaan sebagai kekuatan pariwisata yang memang menjadi salah satu fokus pemerintah provinsi dibawah kepemimpin Ridwan Kamil.

PESERTA KECEWA

Sayangnya tak seperti gimmick yang ditampilkan dalam sosial media atau ekspose beberapa media. Sejumlah peserta justru mengaku kecewa terutama dikarenakan kurangnya profesionalisme dan kesiapan penyelenggara dalam mengatur peserta. Bayangkan saja begitu peserta perwakilan kabupaten/kota tiba dilokasi tidak ada pengarahan sama sekali sehingga mereka bingung. Dimulai dari teknis pengakomodasian kontingen sampai kepada rundown acara menunjukan bahwa penyelenggara tidaklah siap.

Jika ini event kecil dengan anggaran kecil tidak terlalu bermasalah. Namun untuk acara sebesar itu hal tersebut tentu menjadi sangat fatal. Meski acara tetap berlangsung tanpa hambatan, bukankah kita seharusnya mampu berempati pada peserta yang tentu untuk bisa hadir disana mereka telah melakukan berbagai persiapan? Ketiadaan empati itulah yang dialami peserta sehingga terkesan ditelantarkan. Event organizer bingung, LO bingung peserta apalagi. 

Belum selesai sampai disitu Gubernur sendiri segera meninggalkan lokasi acara begitu pembukaan selesai dilakukan. Kabarnya karena jadwal mendesak sebab ada agenda lain. Namun apakah itu artinya mengapresiasi sebuah karya tidak lebih penting dari agenda-agenda itu? Kita perlu bertanya apakah Gubernur betul-betul mencintai seni dan budaya? Atau baginya itu hanya komoditas untuk melengkapi barisan penghargaan dietalase dan citra dimata publik. Seorang pecinta pastinya akan bertahan dan menyempatkan waktu minimal satu atau dua pertunjukan.

DARI GIMMICK KE GIMMICK

Ini seperti membenarkan apa yang dikatakan Budayawan Tisna Sanjaya bahwa Ridwan Kamil lebih gemar memainkan Gimmick, gebyar mempesona pada awalnya, dan biasa saja pada praktiknya. Kita bisa melihat bagaimana kepemimpinannya menjadi sangat dekoratif. Ia berusaha melakukan perubahan disana sini namun dalam kenyataannya hal-hal tersebut sering kali tidak substansial. Dan meninggalkan berbagai kekacuan managerial dalam prakteknya.

Pegiat medsos yang membaca melalui akunnya akan puas dan memberikan apresiasi. Dibalik itu seringkali orang-orang merasa kecewa sebab gimmicknya lebih hebat daripada kenyataan. Melalui gimmick gimmick itulah Ridwan Kamil meraih simpati dan popularitas. Wajar jika mereka yang kecewa sering menuduhnya ahli pencitraan dan pesolek. Walau seringkali Ridwan Kamil bersikap reaktif terhadap kritik seperti itu karena merasa sudah berbuat dan mendapat penghargaan.

Persoalannya Jawa Barat bukanlah kota Bandung. Sebagai salah satu ikon wisata Jawa Barat Bandung masih bisa diperlakukan secara dekoratif walau berbagai masalah muncul. Jawa Barat berbeda ada problem pengangguran, kemiskinan, pendidikan di desa-desa. Pendekatan dekoratif tidak akan memberi dampak besar bagi masyarakat.

Tanpa mengabaikan yang lain, sebagai rumah bagi suku sunda kebudayaan memiliki peran sentral, sebab ia menyoal identitas yang menjadi pembeda sehingga memiliki keunggulan komparatif. Pasalnya Ridwan Kamil seperti gagap memandang hal tersebut. Kebudayaan hanya dipahami sebagai ornamen dalam pembangunan. 

Klo Ajib Rosidi mengatakan kebudayaan sunda bukan cuma soal kreatif-kreatif melainkan laboratorium. Nah pembangunan laboratorium laboratorium itu yang tidak pernah coba dilakukan. Tanpanya kebudayaan hanya menjadi cangkang saja termasuk ketika ia didigitalisasi. Seperti halnya "rebo nyunda" dimana kita menjadi orang sunda hanya hari rabu saja. Selebihnya jadi millenial versi antah berantah.
×
Berita Terbaru Update