Prolog
Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi sosial keagamaan yang didirikan oleh para Masyayikh secara serius dan sakral, tercatat dalam sejarah bahwa KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah, dan KH. bisri Sansuri ketika hendak memberi nama organisasi ini dengan nama NU saja harus konsultasi dahulu dengan Allah SWT melalui Istikharah dan Tawassul kepada Rasulullah SAW.
Jadi dengan demikian, selain para pendirinya adalah ulama yang tidak diragukan lagi keilmuan dan hikmahnya, NU juga didirikan atas dasar petunjuk Allah, SWT dan atas bimbingan Rasulullah SWT. Maka NU bukan sekedar organisaai ulama melainkan organisasi sakral dan memiliki sisi transenden dari aspek kelahirannya.
Melihat salah satu faktor diatas, maka, mengabdi (Khidmah) adalah diksi yang tepat untuk menggambarkan aktifitas kita dalam ber NU. Setiap pikiran, ucapan, dan perbuatan dalam upayanya mengurus dan membesarkan NU adalah seluruhnya di niatkan untuk Ibadah Li I’lai Kalimatillah. Bukan untuk lainnya, terlebih untuk kepentingan pragmatis: materi, kekuasaan,jabatan, dan sebagainya. Cukup satu kata dalam ber NU itu adalah “Khidmat” (Mengabdi).
Namun belakangan cukup disayangkan, ada pergeseran paradigma dari sebagian kalangan di NU, yakni ber NU bukan diniatkan khidmat/ mengabdi, melaunkan berniat untuk melakukan Kapitalisasi NU demi mencari nilai nilai pragmatis yang sifatnya sementara, saya sebut praktek seperti itu dengan istilah “Kapitalisasi NU”.
Kapitalisasi NU
Apa yang dimaksud kapitalisasi NU ? pastinya kalimat ini lah yang menjadi awal pertanyaan, ketika membaca judul yang sederhana tersebut.
Jawabannya pun sederhana, kapitalisasi NU yang dimaksud di atas adalah menjadikan NU sebagai objek dalam memproduksi komoditi untuk melahirkan profit (keuntungan) yang bersifat akumulatif dengan modal yang seminimal mungkin.
Ber NU, dalam konteks kapitalisasi, menunjuk kepada perilaku sesorang dalam upayanya menjadikan NU sebagai kapital (modal) untuk meraih keuntungan material sebesar besarnya baik untuk dirinya maupun untuk lembaga yang dimilikinya.
Seluruh aktifitas, sejak aktifitas berfikir sampai aktifitas bertindak seluruhnya ditujukan untuk meraih sebesar besarnya keuntungan dari modal minimal yang dikeluarkan dalam ngurusin NU, sekecil apa pun yang dikeluarkan dihitung secara matematis kalkulatif agar berbanding lurus dengan keuntungan besar yang akan diperolehnya di kemudian hari.
Lalu apakah orang yang demikian itu ada di NU? dan kalau ada kok bisa berperilaku sedemikian? padahal bukan kah ber NU itu seharusnya Ihlas sebagaimana ihlasnya para masyayikh ketika mendirikan NU? bukan kah NU itu organisasi ulama yang seharusnya lebih mengerti dalam menempatkan organisasi sebagai ladang amal pengabdian bagi pengembangan agama, umat, kemanusiaan dan kebangsaan?
“Oknum”, kata inilah kiranya yang patut disematkan dalam menjawab pertanyaan pertanyaan di atas. Bahwa dalam setiap organisasi selalu terdapat oknum yang perilakunya keluar dari batas aturan main organisasi tersebut. Ia ada, menjadi semacam penyakit akut yang terus menggerogoti, yang apabila tidak tercarikan obatnya maka pelan pelan akan membunuh dan mematikan organisasi di kemudian hari. dalam kata sederhana “oknum” bisa kita sebut sebagai “benalu” atau “duri” dalam daging.
Saya sampai detik ini sangat percaya dan meyakini bahwa orang orang NU baik jam’iyyah (baca: struktural) maupun jama’ah, (baca: kultural) di berbagai tingkatan adalah orang orang pilihan yang memiliki nilai nilai tasamuh (toleran), tawassuth (moderat), ta’adul (proporsionalitas) dan tawazun (imparsialitas). Juga memiliki keikhlasan di atas rata rata yang cukup memukau. Hanya saja “oknum” ini lah yang memperkeruh keadaan NU.
Aneh memang dengan keberadaan “oknum” ini, tapi belakangan cukuplah dimengerti, karena sesungguhnya jauh jauh hari Allah SWT telah memperingatkan kepada manusia tentang keberadaan orang orang yang selalu mengkapitalisasi agama bahkan ayat ayatNya, hal tersebut terungkap dalam ayat:
Allah berfirman,
وَلاَ تَشْتَرُواْ بِآيَاتِي ثَمَناً قَلِيلاً وَإِيَّايَ فَاتَّقُونِ
“Janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan hanya untuk Akulah kamu harus bertakwa ..” (QS. Al-Baqarah: 41)
di ayat lain Allah juga berfirman,
فَلاَ تَخْشَوُاْ النَّاسَ وَاخْشَوْنِ وَلاَ تَشْتَرُواْ بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلاً
Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. (QS. Al-Maidah: 44)
Asbabunnujul ayat ini adalah sebagai peringatan untuk para pembesar yahudi, seperti Huyai bin Akhtab, Ka’ab al-Asyraf, atau pemuka yahudi lainnya.
Sebelum islam datang, para pemuka yahudi mendapatkan upeti dan uang sogokan dari masyarakatnya. Setiap kali mereka mengeluarkan fatwa atau membacakan taurat, atau melakukan ritual yahudi, mereka diberi bayaran oleh masyarakat. Banyak masyarakat sekitar Madinah, baik yahudi maupun orang musyrik, yang menjadi korban mereka.
Pada saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin tiba di madinah, mereka khawatir, jika kemudian sampai banyak masyarakat Madinah, lebih banyak yahudi masuk islam, maka mereka tidak lagi mendapatkan uang upeti, sogok atau minimal pemasukan mereka akan bertambah.
Karena alasan ini, mereka berusaha menentang masyarakat Madinah, terutama masyarakat yahudi, agar tidak diambil dakwah, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat, padahal mereka tahu dengan yakin bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah nabi terakhir seperti yang disebut dalam taurat.
Dalam tafsir Ibnu Katsir dikatakan,
معناه لا تعتاضوا عن البيان والإيضاح ونشر العلم النافع في الناس بالكتمان واللبس لتستمروا كيام الالز
Maknanya, janganlah kalian mengambil dunia, dari aktifitas kalian dalam memberikan penjelasan, pencerahan dan penyebaran ilmu yang bermanfaat kepada manusia Agar kalian bisa mempertahankan kepemimpinan kalian di dunia yang lebih murah dan lebih rendah (Tafsir Ibnu Katsir, 1/244).
Harun bin Zaid deskripsi,
سئل الحسن ، يعني البصري ، عن قوله تعالى: (ثمنا قليلا) قال: الثن القليل الدنيا بحذافيرها
Hasan al-Bashri tidak pernah ditanya tentang firman Allah, [ثَمَناً قَلِيلاً] “harga yang rendah”. Kata beliau, “Harga yang rendah adalah dunia seisinya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/243).
Al-Mukhtashar / Markaz Tafsir di bawah pengawasan Syaikh Dr. Shalih bin Abdullah bin Humaid, Imam Masjidil Haram menjelaskan bahwa ثَمَنًا قَلِيلًا (dengan harga yang rendah) yakni dengan kehidupan yang kebaikannya hanya sedikit ini dan jabatan yang remeh yang tak ada artinya.
Coba perhatikan betapa banyak belakangan ini yang seakan menjual agamanya demi sekelumit materi. Terlebih di tahun politik seperti pada musim pemilu kemarin, mereka tidak segan berfatwa, berhadis, mengeluarkan dalil hanya demi kekuasaan, tidak jarang umat dimobilisasi untuk melakukan aksi demi kemenangan, Islam dieksploitasi sebesar besarnya untuk merengkuh kemenangan dalam pemilu. Fenomena ini saya tulis bukan menggambarkan “oknum Nu” tadi, karena sejatinya orang NU tidak sampai pada titik ini karena orang NU pada tahun politik dalam pemilu kemarin tidak melakukan praktek ini. yang saya maksudkan menggambarkan ini adalah orang NU sangat menentang praktek mobilisasi politik atas nama agama akan tetapi sebetulnya apa bedanya Oknum NU di atas dengan mereka, toh sama sama melakukan kapitalisasi, yang satu kapitalisasi Agama yang oknum NU melakukan kapitalisasi NU.
Kapitalisasi NU, kapitalisasi Agama
Mengeluarkan hadits, membacakan ayat ayat al-quran, menjelaskan tentang kebenaran, bahkan mendalilkan narasi keadilan adalah hal mulia yang sangat dianjurkan, karena yang demikian adalah pelaksanaan nilai nilai luhur Agama (Islam). Syaratnya, semua itu dilakukan atas dasar Ibadah, ihlas karena Allah, SWT. Namun demikian, kalau seluruh aktifitas ini didasarkan atas niat untuk mencari upeti, keuntungan, pulus, jabatan, bantuan hibah, dan faktor faktor duniawi lainnya, maka pada titik itu lah Agama dipakai alat untuk mencari keuntungan duniawi, yang demikian itu masuk pada kategori “Kapitalisasi Agama”.
Pun demikian, ngurus NU. Apa yang dilakukan “oknum” sebagaimana saya sebutkan di atas, adalah menjadikan NU sebagai alat untuk mencari sebesar besarnya keuntungan. Ber NU dalam tindakannya adalah upaya mengelola NU untuk memperoleh laba (sunda: bati) sebanyak banyaknya. Hatinya digelapkan oleh hasrat (syahwat) duniawi: harta, jabatan, kekuasaan. Setiap pikiran, tenaga, harta bahkan seluruh aktifitasnya diniatkan untuk merengkuh sebesar besarnya keuntungan dalam hitungan rasionalitas matematis kalkulatif.
Tipikal “oknum” yang demikian ini, NU hanya dijadikan semacam “alat” atau “tangga” untuk menguatkan posisi bahkan mendapatkan “jabatan”, setelah tujuannya tercapai, maka wassalam lah NU itu. Layaknya kulit yang sudah diambil isinya, dicampakan begitu saja, karena baginya, NU tidak lebih besar dari dirinya. Ia mempersonipikasi dirinya sebagai orang penting melebihi NU itu sendiri, kalimat yang selalu keluar dari mulut “oknum” ini, misalnya: “kalau tidak ada saya, maka NU tidak akan seperti sekarang” (sunda: mun euweuh jelema jiga sayah mah NU moal jiga kiwari). Ber NU, tapi ia tidak ihlas dalam ber NU-nya. Maka praktek yang demikian itu saya sebut sebagai “kapitalisasi NU”.
Kapitalisasi NU dengan demikian sama dengan Kapitalisasi Agama. “Mengapa demikian? “.
Bagi sebagian kalangan NU bukan sekedar organisasi, melainkan adalah Agama. Di Madura misalnya, ketika ditanya “agamamu apa?”, maka dijawab “agama saya NU”.
Hal demikian tidak bisa dipersalahkan, melainkan cukup dimaklumi, karena bagi orang orang yang ihlas dalam ber NU, NU adalah segalanya. Mengutif perkataan gusdur, beliau mengatakan bahwa di NU itu ada orang “gila NU” dan ada orang “NU gila”, maka contoh orang Madura tadi adalah orang kedua duanya “gila NU dan NU gila”.
NU diinternalisasi sebagai Agama dalam hal saking cintanya terhadap NU, jenis cintanya juga adalah cinta gila bahkan cinta mati. Orang yang sudah cinta apapun pasti dilakukan demi NU tanpa pretensi apapun, tanpa pamrih apapun, begitulah harusnya ber NU. Bukan seperti ber NU ala “oknum” tadi, yang sudah mengkapitalisasi NU bahkan mengkapitalisasi Agama. Bagi saya mengkapitalisasi NU sama saja dengan mengkapitalisaai Agama. Semoga Allah menjauhkan saya dari sifat demikian.
Walhasil, saya mengajak mari kita ngurus NU secara ihlas, jadikan NU sebagai ladang untuk beribadah, jadikan sebagai kebanggaan, bukan seberapa banyak apa yang didapatkan dari NU, melainkan seberapa besar apa yang diberikan kita untuk NU.
Wallohu A’lam.