ASPIRASIJABAR.NET- Sepanjang sejarah peradaban, kehidupan manusia tak pernah terlepas dari berbagai penemuan terhadap ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan tersebut selanjutnya akan senantiasa dikembangkan dan direproduksi oleh manusia.
Menurut Sulfikar Amir, asisten profesor Sosiologi di Nanyang Technological University Singapura dalam wawancaranya bersama Coen Husein Pontoh, ilmu pengetahuan modern ini menciptakan teknokrasi sebagai respons terhadap keinginan untuk menciptakan ketertiban (order) di masyarakat sekaligus kepercayaan bahwa pengetahuan ilmiah dapat digunakan untuk menghasilkan ketertiban itu.
Istilah teknokrasi sendiri muncul di Amerika Serikat pada tahun 1920-an sebagai ungkapan dari rule by technicians. Istilah tersebut berkonotasi dengan dikehendakinya sistem pemerintahan untuk dikendalikan oleh para ahli berdasarkan prinsip teknis.
Teknokrasi sendiri pada pengimplementasiannya dilakukan oleh para teknokrat. Label ahli yang disandang oleh teknokrat memperbesar peluang mereka untuk berkontribusi dalam pelaksanaan pemerintahan negara, bahkan bisa dibilang bahwa peran mereka terlalu dominan. Keinginan dari jalannya pemerintahan yang teratur menjadikan teknokrat sebagai aspek fundamental dalam pembuatan kebijakan publik yang (dianggap) rasional.
Beberapa tahun belakangan ini, jamak dijumpai perilaku ganjil para teknokrat yang melahirkan berbagai regulasi yang tak kalah ganjilnya. Seperti pembuatan berbagai kebijakan yang mengatasnamakan kepentingan publik, tetapi tak pernah melibatkan peran publik sama sekali dalam perumusannya.
Salah satu contoh konkritnya adalah rencana pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana oleh Dewan Perwakilan Rakyat yang mengancam kebebasan berekspresi serta tak berpihak pada kelompok “rentan”. Publik diposisikan sebagai obyek semata, bukan subyek yang patut dilibatkan dalam perumusannya. Padahal khalayak ramailah yang menanggung segala konsekuensi dari pengimplementasiannya.
Ironi-ironi macam itu tentu tak lepas dari peran pendidikan dalam pembentukan karakter para tenaga ahli yang direproduksinya. Salah satu fase substansial yang pendidikan yang memengaruhi factok tersebut agar seseorang mampu disemati label sebagai tenaga ahli yang menjalankan fungsi dan kinerja birokrasi adalah bangku perkuliahan. Hal itu dikarenakan kampus dianggap sebagai jenjang final persiapan seseorang untuk selanjutnya dapat terjun dalam dunia kerja.
Mengingat betapa krusialnya peran perkuliahan dalam membentuk para teknokrat ke depannya, maka kualitas pendidikan pada jenjang tersebut perlu diperhatikan betul. Namun, fakta di lapangan menunjukkan kerap terjadinya degradasi mutu pendidikan di kampus.
Esensi kuliah yang seharusnya sarat akan makna dan diisi dengan berbagai diskusi akademik, kajian-kajian keilmuan, serta pengabdian pada masyarakat, telah direduksi oleh negara, melalui birokrasi kampus, menjadi sekadar kegiatan di dalam ruang kelas. Fungsi kampus yang harusnya mampu menjadi ruang dilahirkannya ide-ide kritis, kini telah didistorsi sedemikian rupa sehingga menjadi lembaga pembelajaran yang dogmatis semata.
Maka tak heran jika jamak kita jumpai mahasiswa yang meletakkan Indeks Prestasi Kumulatif sebagai orientasi kehidupan perkuliahannya. Hal tersebut tentu saja menempatkan mahasiswa menjadi sekadar obyek pemenuhan permintaan birokrasi pun korporasi akan tenaga kerja. Pada akhirnya, bangku perkuliahan hanya menjadi pabrik-pabrik penghasil tenaga kerja berupah rendah.
Selain permasalahan pereduksian esensi kuliah, hal lain yang turut memengaruhi turunnya mutu mahasiswa adalah narasi delusive mengenai peran absolut mereka sebagai agen perubahan. Hal tersebut, tentu saja, diakomodasi oleh birokrasi, digaungkan dosen-dosen di ruang perkuliahan, kemudian ditelah oleh mahasiswa. Maka percayalah mereka bahwa dirinyalah yang satu-satunya mengemban tugas mulia tersebut.
Memosisikan diri sebagai satu-satunya agen perubahan artinya menihilkan peranan unsur masyarakat lain, yang tanpa menyandang status sebagai mahasiswa turut berkontribusi dalam berbagai aspek pembangunan. Memang benar bahwa mahasiswa memiliki peran historis dalam berbagai perjalanan negara ini, namun mengglorifikasi soal fungsi absolut mereka dalam tatanan masyarakat adalah lain soal.
Label agen perubahan yang disematkan kepada mahasiswa juga turut membentuk sifat eksklusif dalam diri mereka. Karena merasa mengamban label tersebut secara absolut, mereka menjadi enggan meleburkan diri dalam perjuangan bersama masyarakat. Sehingga dalam berbagai permasalahan yang menyangkut ihwal publik, mereka akan terseparasi, bahkan teralienasi dari masyarakat luas.
Seolah-olah mereka menduduki suatu strata sosial sendiri yang tak dapat melebur dengan kasta-kasta lainnya. Hal tersebut tentu berbahaya karena dapat mendorong terjadinya ambivalensi perjuangan rakyat. Pertanyaannya, apakah kampus dewasa ini memang sengaja memangkas keterlibatan publik dan memosisikan diri sebagai ranah privat?
Agaknya Negara, melalui birokrasi kampus, ingin berlomba-lomba mengomersialisasi mahasiswa sebagai produk dagangan yang mampu mempertebal profit mereka melalui omong kosong Uang Kuliah Tunggal, Uang Pangkal Pengembangan Akademik, dan ini, dan itu. Padahal mutu jebolannya siapa yang tahu?
Ah ya, jika kau, para mahasiswa, ingin tahu jawabannya, longoklah kehidupan perkuliahan kalian sehari-hari. Apakah ruang-ruang kuliah telah mampu mendidikmu menjadi seorang “manusia” atau malah membentuknya menjadi kawanan ternak yang sekadar mengangguk-angguk pandir di hadapan dosen? Hahaha.
Menurut Sulfikar Amir, asisten profesor Sosiologi di Nanyang Technological University Singapura dalam wawancaranya bersama Coen Husein Pontoh, ilmu pengetahuan modern ini menciptakan teknokrasi sebagai respons terhadap keinginan untuk menciptakan ketertiban (order) di masyarakat sekaligus kepercayaan bahwa pengetahuan ilmiah dapat digunakan untuk menghasilkan ketertiban itu.
Istilah teknokrasi sendiri muncul di Amerika Serikat pada tahun 1920-an sebagai ungkapan dari rule by technicians. Istilah tersebut berkonotasi dengan dikehendakinya sistem pemerintahan untuk dikendalikan oleh para ahli berdasarkan prinsip teknis.
Teknokrasi sendiri pada pengimplementasiannya dilakukan oleh para teknokrat. Label ahli yang disandang oleh teknokrat memperbesar peluang mereka untuk berkontribusi dalam pelaksanaan pemerintahan negara, bahkan bisa dibilang bahwa peran mereka terlalu dominan. Keinginan dari jalannya pemerintahan yang teratur menjadikan teknokrat sebagai aspek fundamental dalam pembuatan kebijakan publik yang (dianggap) rasional.
Beberapa tahun belakangan ini, jamak dijumpai perilaku ganjil para teknokrat yang melahirkan berbagai regulasi yang tak kalah ganjilnya. Seperti pembuatan berbagai kebijakan yang mengatasnamakan kepentingan publik, tetapi tak pernah melibatkan peran publik sama sekali dalam perumusannya.
Salah satu contoh konkritnya adalah rencana pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana oleh Dewan Perwakilan Rakyat yang mengancam kebebasan berekspresi serta tak berpihak pada kelompok “rentan”. Publik diposisikan sebagai obyek semata, bukan subyek yang patut dilibatkan dalam perumusannya. Padahal khalayak ramailah yang menanggung segala konsekuensi dari pengimplementasiannya.
Ironi-ironi macam itu tentu tak lepas dari peran pendidikan dalam pembentukan karakter para tenaga ahli yang direproduksinya. Salah satu fase substansial yang pendidikan yang memengaruhi factok tersebut agar seseorang mampu disemati label sebagai tenaga ahli yang menjalankan fungsi dan kinerja birokrasi adalah bangku perkuliahan. Hal itu dikarenakan kampus dianggap sebagai jenjang final persiapan seseorang untuk selanjutnya dapat terjun dalam dunia kerja.
Mengingat betapa krusialnya peran perkuliahan dalam membentuk para teknokrat ke depannya, maka kualitas pendidikan pada jenjang tersebut perlu diperhatikan betul. Namun, fakta di lapangan menunjukkan kerap terjadinya degradasi mutu pendidikan di kampus.
Esensi kuliah yang seharusnya sarat akan makna dan diisi dengan berbagai diskusi akademik, kajian-kajian keilmuan, serta pengabdian pada masyarakat, telah direduksi oleh negara, melalui birokrasi kampus, menjadi sekadar kegiatan di dalam ruang kelas. Fungsi kampus yang harusnya mampu menjadi ruang dilahirkannya ide-ide kritis, kini telah didistorsi sedemikian rupa sehingga menjadi lembaga pembelajaran yang dogmatis semata.
Maka tak heran jika jamak kita jumpai mahasiswa yang meletakkan Indeks Prestasi Kumulatif sebagai orientasi kehidupan perkuliahannya. Hal tersebut tentu saja menempatkan mahasiswa menjadi sekadar obyek pemenuhan permintaan birokrasi pun korporasi akan tenaga kerja. Pada akhirnya, bangku perkuliahan hanya menjadi pabrik-pabrik penghasil tenaga kerja berupah rendah.
Selain permasalahan pereduksian esensi kuliah, hal lain yang turut memengaruhi turunnya mutu mahasiswa adalah narasi delusive mengenai peran absolut mereka sebagai agen perubahan. Hal tersebut, tentu saja, diakomodasi oleh birokrasi, digaungkan dosen-dosen di ruang perkuliahan, kemudian ditelah oleh mahasiswa. Maka percayalah mereka bahwa dirinyalah yang satu-satunya mengemban tugas mulia tersebut.
Memosisikan diri sebagai satu-satunya agen perubahan artinya menihilkan peranan unsur masyarakat lain, yang tanpa menyandang status sebagai mahasiswa turut berkontribusi dalam berbagai aspek pembangunan. Memang benar bahwa mahasiswa memiliki peran historis dalam berbagai perjalanan negara ini, namun mengglorifikasi soal fungsi absolut mereka dalam tatanan masyarakat adalah lain soal.
Label agen perubahan yang disematkan kepada mahasiswa juga turut membentuk sifat eksklusif dalam diri mereka. Karena merasa mengamban label tersebut secara absolut, mereka menjadi enggan meleburkan diri dalam perjuangan bersama masyarakat. Sehingga dalam berbagai permasalahan yang menyangkut ihwal publik, mereka akan terseparasi, bahkan teralienasi dari masyarakat luas.
Seolah-olah mereka menduduki suatu strata sosial sendiri yang tak dapat melebur dengan kasta-kasta lainnya. Hal tersebut tentu berbahaya karena dapat mendorong terjadinya ambivalensi perjuangan rakyat. Pertanyaannya, apakah kampus dewasa ini memang sengaja memangkas keterlibatan publik dan memosisikan diri sebagai ranah privat?
Agaknya Negara, melalui birokrasi kampus, ingin berlomba-lomba mengomersialisasi mahasiswa sebagai produk dagangan yang mampu mempertebal profit mereka melalui omong kosong Uang Kuliah Tunggal, Uang Pangkal Pengembangan Akademik, dan ini, dan itu. Padahal mutu jebolannya siapa yang tahu?
Ah ya, jika kau, para mahasiswa, ingin tahu jawabannya, longoklah kehidupan perkuliahan kalian sehari-hari. Apakah ruang-ruang kuliah telah mampu mendidikmu menjadi seorang “manusia” atau malah membentuknya menjadi kawanan ternak yang sekadar mengangguk-angguk pandir di hadapan dosen? Hahaha.